Sang
Datuk
Oleh:
Adya Pramudita
Hutan ribuan hektar ini menelanku, memerangkap diriku
menjadi liliput yang tidak berarti. Aroma tanah basah dan lembab tercium
sepanjang jalan, gesekan dedaunan terdengar seperti koor yang melagukan
lirik-lirik pilu.
Sudah dua pekan aku berada di tengah hutan Sumatra, pada garis batas Jambi dan
Sumatra Barat. Di dalam sini, batas itu raib, tidak tampak garis seperti di
dalam peta. Untuk itu pula aku dikirim datang ke sini. Untuk menghilangkan
batas-batas, untuk membungkam suara-suara.
Semula aku mengira tugas ini akan mudah dikerjakan. Meninggalkan istri dan
balitaku, meninggalkan ibukota yang kerap menelikung waktu-waktuku. Aku hanya
diminta bernegosiasi dengan kepala adat yang bersikeras menolak perambahan
hutan yang akan dilakukan perusahaan tempat aku bekerja.
PT. Palm Oil Jaya telah memiliki izin untuk memperluas lahan sawit milik
mereka, hitungannya bukan 1 atau 2 hektar tetapi 86 hektar hutan heterogen akan
dibabat habis menjadi hutan homogen. Apalagi jika bukan kelapa sawit.
Tatapan kepala adat tadi terus membayang di kepalaku, sorot mata yang tidak
bisa dianggap main-main. Belasan kali kami bertemu dan membicarakan ini semua,
keputusannya selalu sama. Tidak setuju!
“Desa ini tidak akan ikut dibabat, Datuk.” Ucapku tadi.
Lelaki yang memakai stelan hitam longgar itu menggeleng. “Aku bisa saja musnah,
semua orang kampung sini bisa saja musnah. Itu tidak membekas, karena masih ada
manusia di tempat lain. Tetapi jika hutan kalian musnahkan, ada banyak binatang
yang tidak hidup di tempat lain akan menemui ajal.”
“Semua akan ditampung, perusahaan sudah menyiapkan penangkaran.” Lanjutku
bersikukuh. Lelaki tua itu terus saja meraut bambu, tidak menatapku barang
sejenak.
“Tuan muda, engkau seperti mencabut anakmu dari susuan ibunya, lantas kau
simpan di jalanan. Hanya tinggal menunggu waktu untuk sampai tergilas.”
Mendengar ucapannya seketika aku terhenyak, wajah anak balitaku yang aku tinggalkan
langsung terbayang.
Lelaki tua itu berdiri, cukup tegap untuk ukuran
lelaki di atas 70 tahun. “Hutan ini rumah bagi ribuan binatang, rumah bagi
jutaan jenis tumbuhan. Semuanya akan mati layu jika dipindahkan.”
“Datuk,” sambutku ragu-ragu. “Kami telah memiliki
izin.”
“Izin, katamu?” dia menggeleng-gelengkan kepala sambil
berdecak. “Aku lahir dan akan mati di sini, setiap hari ada di sini. Tidak
pernah ada yang meminta izin padaku. Tanah itu tanah Tuhan, dititipkan pada
ulayat untuk digunakan seperlunya! Orang-orang yang membayarmu, anak muda.
Datang ke sini saja tidak pernah. Jadi, tahu apa mereka tentang hutan ini.” Dia
melangkah pergi.
“Datuk …” panggilku lagi.
“Sekali tidak tetap tidak!” sentaknya, bola matanya
nyalang menusuk kornea mataku. “Kalau kau memaksa, maka aku biarkan
mahluk-mahluk penghuni hutan itu mencabik-cabik wajah kalian.”
Aku menegakan punggung, ancaman seperti itu sudah
berulang kali ia ucapkan. “Saya pamit. Sudah sampai batas waktunya, Datuk. Lusa
beberapa ekskavator akan datang.”
Lelaki tua yang biasa dipanggil Datuk Sambas itu
menengadah menatap langit, lalu bersiul-siul ke arah selatan.
Mobil double cabin yang membawaku
masuk ke jalan tanah berbatu menuju base camp. Tubuhku
terguncang-guncang, bahuku layu mengikuti saja ke arah mana mobil bergerak.
Dialog dengan datuk Sambas tidak memberi hasil yang memuaskan. Lelaki tua itu
tetap menolak, dan aku harus bersiap menerima kemarahan dari atasanku di
Jakarta. Yang membuat hatiku kian pilu adalah apa pun keputusan Kepala Adat dan
masyarakatnya perambahan hutan akan segera dimulai.
Aku merasa telah menjadi orang yang berbeda dengan aku
yang pertama kali datang ke sini. Ketika aku mengusung kepetingan perusahaan di
atas kepalaku. Setelah mengenal Datuk Sambas, kesederhanaan dan juga
keteguhannya, egoku perlahan melumer. Aku seperti berada pada sisi tempat ia
berdiri. Menatap hutan yang bagai denyut jantungku sendiri akan hancur di
tangan-tangan rakus.
Base camp tempat orang-orang yang disewa untuk membuka
lahan berada di tengah hutan, berupa sebuah rumah kayu 150 m2 yang
dibangun 1,5 meter di atas tanah. Di sampingnya tiga buah kotak container
berjajar, telah diubah menjadi kamar-kamar, gudang dan dapur.
Hampir 30 orang keseluruhan laki-laki yang menempati base
camp, belum termasuk 6 orang tim keamanan bersenjata lengkap yang menjaga
kami. Sebagian besar tanpa sepengetahuan Datuk Sambas, orang-orang sudah mulai
menebang pohon-pohon di tengah hutan sejak sebelum aku datang. Biasanya pada
siang hari seperti ini base camp lengang, hanya ada juru
masak Anwar dan asistennya. Tetapi tidak kali ini.
Orang-orang berkumpul di halaman rumah kayu, sebidang
tanah yang sering dipakai untuk membuat api unggun dan berkumpul jika malam
tiba. Mereka terlihat tengah mengerumuni sesuatu.
“Ada apa, ya?” Tanya Duki supir yang mengantarku.
Aku segera turun dan berjalan cepat. Menyibak
kerumunan.
“Bang Juan datang.” Ucap salah satu dari mereka.
Markus pemimpin tertinggi dari orang-orang yang disewa
perusahaan menghadap seseorang yang tengah berbaring. Aku langsung memanjangkan
leher dan reflek menutup mulut. Rudi salah satu anak buah Markus tewas diterkam
harimau, wajahnya koyak terkena cakaran, di lehernya ada luka nganga yang lebar.
Aku mundur beberapa langkah, ucapan Datuk Sambas
terngiang lagi.
“Menyebar semua!” Teriak Markus lantang. “Pasang
perangkap-perangkap.” Mereka sungguh-sungguh siap berperang, seperti hendak
melawan penjajah. Padahal sesungguhnya, kami lah para penjajah itu.
Rudi sudah dibawa pergi, dipulangkan ke kampung
halamannya di Sulawesi. Seharusnya kehilangan satu orang saja tidak terlalu
membekas, tetapi kenyataannya suasana base camp teramat murung
dan dahan-dahan pohon merunduk seperti turut berduka. Entah, duka untuk Rudi
atau untuk mereka sendiri.
Malam ke dua setelah kepergian Rudi suasana riuh lagi.
Namun kali ini sorak sorai yang terdengar. Aku tengah menelepon istriku melalui
telepon satelit, mendengar ocehan tak jelas balitaku ketika keramaian itu terjadi.
Aku bergegas ke halaman usai mengakhiri pembicaraan.
Sebuah kerangkeng besi berbentuk persegi panjang
terletak di tengah pekarangan, orang-orang masih mengerumuni dan memuji-muji
diri merek sendiri.Aku berjalan pelan, berlutut di depan harimau yang penuh
luka dan tidak berdaya.
Deru napas harimau itu terdengar hingga beberapa
meter, matanya beringas menatap orang-orang . Menyeringai, memperlihatkan
dominasinya atas rumahnya yang kami rusak. Taringnya berpendar terkena lampu,
merambatkan kengerian.
Aku mundur beberapa langkah, “Bang Markus, kita tidak harus menangkap mereka.
Kita hanya … “ kalimatku menggantung.
“Jangan bagaimana maksudmu? Mana mungkin kita semua bebas bekerja dengan
ancaman terkaman harimau setiap saat. Dimana-mana yang namanya membuka lahan,
ya begini. Hilangkan dulu belukar, pohon dan para pengganggu baru kita bisa
bekerja.”
Aku serasa menelan cairan pahit ketika menyadari kenyataan, bahwa aku sudah
menjadi bagian dari kerusakan yang akan terjadi. Harimau itu menatapku, bola
mata kuningnya bersinar seperti memberikan sandi-sandi peperangan.
“Bang, Bule itu udah setuju, 200 juta katanya.” Teriak
anak buah Markus dari dalam ruang kontainer.
Lelaki tinggi besar itu mengangguk “Terlalu murah
itu!” tukasnya meninggalkanku. Diikuti orang-orang yang kembali bersorak,
bayangan rupiah sudah menari-nari di pelupuk mata mereka.
Truk-truk pembawa ekskavator telah tiba, beberapa
tekhnisi dibantu oleh anak buah Markus tengah merakit robot berwarna kuning
tersebut. Sebagian orang mulai memanaskan gergaji mesin mereka, memastikan
benda-benda bersuara maut itu dalam keadaan prima ketika menyembelih
pohon-pohon. Lusa, pembukaan lahan resmi dimulai.
Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, aku pun
sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku gagal meyakinkan atasanku untuk menunda
pembukaan lahan karena Datuk Sambas belum mengizinkan, ia balik memakiku
sebagai orang yang lemah, tidak ada bedanya dengan staf perusahaan yang diutus
sebelum aku.
Sudah tanggung membuatnya murka, aku mengusulkan untuk
memindahkan lokasi titik awal pembukaan lahan, bukan dekat dengan kampung Datuk
Sambas tapi dari sisi hutan yang lain. Tak pelak lagi, makian yang paling kasar
merembat melalui udara lalu masuk ke telingaku. Dan ancaman pemecatan pun terucap
darinya.
Sudah nyebur kepalang basah.
Aku berjalan ke belakang ruang container tempat
kerangkeng harimau berada. Binatang loreng itu sedang dalam posisi tidur,
menyimpan dagu di atas kaki depannya. “Apa yang harus aku perbuat pada rumahmu
ini, Nyonya? Aku tak berdaya.” Keluhku.
Luka-luka harimau itu sebagian mulai mengering,
sisanya masih terlihat basah dan dirubung lalat. Ia berkedip sayu, tidak peduli
pada kedatanganku. Seperti seorang tahanan yang yang hendak dihukum mati.
Aku tidak tega terlalu lama memandanginya. Bersiap
pergi ketika semak-semak di dekat jeruji itu bergerak-gerak. Jantungku berdegup
kencang, mundur perlahan-lahan. Kaki-kaki belang yang mungil muncul, kemudian
kepala yang sungguh-sungguh lucu.
Seekor anak harimau itu meregangkan tubuhnya ketika
menemukan tanah lapang tanpa semak belukar. Ukurannya tidak lebih besar dari
anak anjing, bulu-bulunya seperti hangat untuk dipeluk.
Harimau yang berada di dalam jeruji itu langsung
berdiri, mendesis-desiskan mulut dan menyeringai dengan taring runcing ke
arahku. Sebaliknya, anak harimau itu berjalan bebas di dekat jeruji yang
mengurung induknya.
Markus dan anak buahnya pasti sangat girang
mendapatkan anak harimau itu. Mereka akan menjualnya dengan harga sangat mahal.
Membayangkan harimau kecil itu terpisah dari induknya, hatiku semakin pilu.
“Psssttt … pssstt … “ aku menjetikan jemari mengajak
anak harimau itu mendekat. “Tenang nyonya, anakmu aman bersamaku. Aku akan
menyelamatkannya.” Kataku, sambil menggendong anak harimau dan
menyembunyikannya di balik jaket parasut yang aku pakai.
Aku masuk ke dalam kamar, membereskan laporan-laporan
yang berserakan di atas tempat tidur. Membersihkan keempat kaki anak harimau
itu dan membiarkannya berkeliaran di lantai kayu.
Perlahan aku mendorong piring yang telah
dituangi susu, harimau kecil itu mengendus-endus dan mulai menjilat sedikit
demi sedikit.
Aku membuka jendela, melihat ke dalam hutan. Pada
dedaunan yang tampak saling bertaut, pada dahan-dahan yang seperti saling
memeluk satu sama lain. Mereka saling memberikan kabar, bahwa desingan
mesin-mesin gergaji semakin lantang terdengar, napas-napas rakus yang berbau
busuk telah tercium dari jarak puluhan meter. Waktu untuk pembunuhan ekosistem
secara masal sedang dihitung mundur.
Beberapa hari setelah kedatanganku di hutan ini, anak
buah Markus mengatakan ada raflesia arnoldi yang mekar di tengah hutan. Aku sangat
bersemangat untuk melihat tumbuhan itu langsung di habitatnya. Aku ikut
rombongan kecil yang hanya terdiri dari enam orang untuk melihat bunga
tersebut.
Kami menerabas hutan hujan yang rimbun, saat itu juga
aku merasa teramat kerdil diantara pohon-pohon berusia ratusan tahun yang
menjulang. Pucuk-pucuk pakis yang melingkar dan berbulu seperti janin manusia
di dalam rahim seorang ibu. Bunga terompet tumbuh liar, anggrek-anggrek
berparas rupawan menempel di pohon-pohon. Semuanya damai belum terjamah.
Semua yang aku lihat saat itu, sebuah surga yang
tersembunyi tinggal menunggu waktu menemui ajal mereka, dan celakanya aku
menjadi bagian dari kebinasaan itu. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku kelu
pada anak harimau yang melingkar di bawah kakiku.
Cahaya berpendar dari pekarangan rumah kayu, aku
membuka jendela dengan anak harimau di dalam dekapan. Markus dan anak buahnya
sudah menyalakan api unggun, batang-batang kayu kering dilemparkan lalu api
semakin berkobar. Anak harimau itu bergerak-gerak panik dan bersembunyi di
bawah lenganku.
Geligiku gemetar, tubuhku menggigil tidak karuan.
Merasakan ketakutan anak harimau dan binatang lain penghuni hutan ini yang
sebentar lagi akan lenyap, seperti api yang melumat kayu-kayu.
Aku menyimpan anak harimau di bawah tempat tidur,
keluar kamar dan turun ke pekarangan. “Juan, sini berpesta bersamaku. Anggap
saja ini ritual untuk pekerjaan kita yang akan dimulai besok.” Teriak Markus.
Aku hanya mengacungkan ibu jari, bahwa aku merestui ia berpesta tanpa aku harus
ikut serta.
Dua anak buahnya menyeret sebuah peti dan membukanya
dengan linggis. Botol-botol bir disimpan berjajar di tanah. Tanpa perlu komando
anak buah Markus mengambil satu botol untuk satu orang. Lalu mereka duduk di
batang-batang pohon yang mengelilingi api unggun. Malam kian panas membara
Aku berjalan menuju dapur lalu menyelinap ke belakang.
Induk Harimau itu masih berada di dalam kandangnya. Markus mengatakan pekan
depan baru akan diangkut ke kota Medan.
Aku mengendap mendekati, dia langsung berdiri waspada
dengan keempat kakinya. Harimau itu melangkah maju mundur dengan gelisah. Aku
menunggu beberapa lama hingga ia berangsur tenang.
Di pekarangan ocehan-ocehan tak jelas mulai terdengar.
Di tempatku berdiri aku kian tegang dengan rencana absurb di dalam otakku.
Risikonya ada dua, aku diterkam harimau atau dihajar Markus. Tidak ada satu
pilihan pun yang lebih baik.
Aku melangkah pelan nyaris menahan napas, membuka
selot jeruji lalu menarik pintunya. Harimau itu mundur selangkah. Aku segera
mundur –-----------------------------
Dari kecil aku suka banget baca majalah dan buku. Kebanyakan
yang aku suka baca adalah novel fiksi, misteri, dan pengembangan diri. Pergi ke
toko buku (selain ke counter makeup :D) udah jadi rutinitas hampir setiap
bulan.
Nah kali ini aku mau ajak pretty ladies kenalan dengan
salah satu teman blogger aku yang juga penulis Novel, yaitu mba Adya Pramudita.
Awalnya aku mikir kali jadi penulis itu harus punya
banyak waktu luang, harus ngga sibuk agar pikiran fresh dan ide untuk menulis
mengalir lancar. Tapi itu ngga berlaku buat mba Adya. Karena mba Adya merupakan
ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang anak yang berusia 12 tahun, 7 tahun,
dan 20 bulan. Mba Adya menulis blog dan novelnya disela-sela kesibukannya
sebagai ibu rumah tangga. Waaahh keren banget sih mbaa ^^
Mba Adya mulai menulis sejak tahun 2006 dan bergabung
dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Bandung dan kemudian pindah bergabung di FLP
Depok. Mba Adya juga sudah mengeluarkan novel loh pretty ladies, judulnya “Menjeda”.
Novel ini lahir tahun 2013 kemarin.
Dan tahun ini, mba Adya juga juga mengeluarkan novel
keduanya yaitu “Loui(Sa)”. Waaahh kereeen bangett sih mba Adya *_*
Kalo pretty ladies juga kepengen bisa nulis konsisten
seperti mba Adya, dan tips agar tulisan kita menjadi lebih “hidup” dan ga
berhenti di tengah jalan, di blognya mba Adya menulis kategori khusus yang
diberi judul “tips menulis”. Disini mba Adya share dari A sampai Z tentang
tulis menulis. Pretty ladies harus banget mampir karena tips dari mba Adya ini
kece kece banget ;)
Cerpen diatas adalah yaitu “Sang Datuk” merupakan
karya mba Adya yang menyabet juara dua pada Green Pen Literary Award yang diadakan tahun 2015 kemarin.
Wiiih prestasi mba Adya keceeeeee banget ^^
Kalo pretty ladies penasaran sama kelanjutan cerpen
diatas,Bagaimana nasib harimau, anak harimau tersebut dan Juan sang tokoh utama
cepren ini, pretty ladies langsung aja mampir ke blognya mba Adya Pramudita disini
ya ;)
Adya Pramudita
www.adyapramudita.com
Facebook : Adya Tuti Pramudita
Twitter : @AdyaStory
Email : adyapramudita80@gmail.com
No comments:
Post a Comment
Terimakasih banyak pretty ladies untuk komentarnya :*